Sabtu, 08 Februari 2014

Ikhlas

Bahagianya Orang Ikhlas

Berpikirlah terus, bagaimana caranya agar amal kita diterima Allah. Tidak usah mengharap balas jasa, pujian, atau keuntungan sesaat.

"Ketahuilah, hari ini adalah hari Allah. Tidak boleh ada kesombongan dan sikap melampaui batas. Ikhlaskan niat kalian untuk berjihad dan carilah ridha Allah dengan amal kalian". Inilah yang disampaikan Khalid bin Walid di hadapan komandan pasukannya menjelang Perang Yarmuk.

Tak lama kemudian, datanglah utusan Khalifah membawa sepucuk surat untuk Khalid bin Walid. "Pedang Allah" ini segera membacanya. Di dalamnya tercantum beberapa hal, termasuk berita wafatnya Khalifah Abu Bakar dan dan beralihnya kendali kekhalifahan ke tangan Umar bin Khathab. Yang terpenting, Khalifah Umar mencopot jabatan panglima perang yang disandang Khalid bin Walid, dan mengangkat Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai penggantinya.

Bagaimana sikap Khalid? Ia menerima pemberhentian tersebut dengan sikap ksatria. Tidak sedikit pun kekecewaan dan emosi terpancar dari wajahnya. "Aku tidak berperang untuk Umar. Aku berperang untuk Tuhannya Umar," demikian ungkapnya.

Ia segera mendatangi Abu Ubaidah bin Jarrah untuk menyerahkan kendali kepemimpinan. Setelah itu ia berperang habis-habisan di bawah komando mantan anak buahnya tersebut. Padahal, masa itu adalah masa keemasan Khalid bin Walid.

Saudaraku, betapa bahagianya Khalid bin Walid. Lihatlah, betapa mudahnya ia menyerahkan jabatan kepada anak buahnya, lalu berperang habis-habisan sebagai seorang prajurit. Orientasi perjuangannya adalah Allah, bukan jabatan, ketenaran dan kepuasan nafsunya.

Kita harus mulai mengevaluasi diri. Boleh jadi kita sibuk beramal, namun tidak sibuk menata niat. Sehingga amal-amal yang kita lakukan tidak ada nilainya di hadapan Allah. Seorang ibu mengandung selama sembilan bulan, ia tidak mendapatkan apa-apa selain rasa sakit, bila kehamilannya itu disikapi dengan keluhan. Demikian pula seorang bapak yang siang malam bekerja, ia tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lelah, bila tidak karena Allah. Karena itu, jangan hanya sibuk beramal, tapi sibukkan pula dengan meluruskan niat.

Bagaimana agar kita bisa ikhlas? Tekniknya sederhana. Pusatkan pikiran dan amal hanya untuk Allah. Berpikirlah, bagaimana agar amal kita diterima Allah. Titik. Tidak usah mengharap balas jasa, pujian, atau keuntungan sesaat. Lakukan yang terbaik, sampaikan dengan cara terbaik, berikan yang terbaik, dan dengan hati terbaik.

Saudaraku, orang ikhlas itu pasti bahagia dalam hidupnya. Sebab, Allah SWT akan menganugerahkan enam ciri (keutamaan) dalam hidupnya.

[1] Jarang kecewa terhadap dunia. Orang ikhlas tidak mengharapkan apapun dan dari siapapun. kenikmatan baginya bukan dari mendapatkan, tapi dari mempersembahkan. Sebaliknya, orang yang tidak ikhlas akan banyak kecewa dalam hidup, karena banyak berharap dari makhluk.

[2] Tidak pusing dengan penghargaan. Baginya orang ikhlas dipuji atau dicaci sama saja, asalkan apa yang ia lakukan benar caranya dan lurus niatnya.

[3] Tidak membeda-bedakan amal besar dan amal kecil. Orang ikhlas tidak sibuk melihat besar kecilnya amal. Ia hanya sibuk dengan apa yang disukai Allah. Tidak ada yang kecil di hadapan Allah. Yang kecil hanyalah amal yang tidak ikhlas.

[4] Nikmat berbuat amal. Kebahagiaannya bukan dari mendapatkan pujian, namun dari optimalnya amal. Karena itu, orang ikhlas akan tangguh dan istikamah dalam ibadah.

[5] Tidak menonjolkan "bendera". Orang ikhlas tidak berjuang untuk satu kelompok tertentu. Ia berjuang hanya untuk Islam. Kelompok/bendera hanyalah sarana/alat untuk mencapai tujuan.

[6] Tidak ditipu setan. Allah SWT mengabadikan ucapan Iblis dalam Alquran. "_pasti aku akan menyesatkan mereka (manusia) semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas" (QS Al Hijr [15]: 39-40). Wallaahu a'lam.

Posted as my facebook on May 3, 2010 at 10:07pm

Pengorbanan Seorang Anak

Pengorbanan Seorang Anak

Bagaimana pun keadaan orangtua kita, darah dagingnya melekat dalam diri kita. Kalau keduanya masih bergelimang dosa, kita wajib berikhtiar secara optimal untuk membantu serta mendoakan agar Allah menyadarkan dan mengampuni segala dosanya.

Mahasuci Allah Dzat yang tak pernah bosan mengurus semua hamba-Nya. Yang telah menjadikan amalan memuliakan orangtua (birul walidain) sebagai amalan yang amat dicintai-Nya. Demi Allah, siapa pun yang selalu berusaha untuk memuliakan kedua orangtuanya, niscaya Allah akan mengangkat derajatnya ke tempat paling tinggi di dunia maupun di akhirat.

Difirmankan, Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orangtua ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu (QS Lukman [31]: 14).

Alangkah tepat andai firman Allah tersebut kita baca berulang-ulang dan kita renungkan dalam-dalam. Sehingga Allah berkenan mengaruniakan cahaya hidayah kepada kita, mengaruniakan kesanggupan untuk mengoreksi diri, "Seberapa jauh kita telah memuliakan ibu bapak?".

"Like Father like son". Istilah tersebut tidak berlaku bagi keluarga yang satu ini. Kebiasaan sang ayah yang suka berjudi, mabuk dan berperilaku buruk, sama sekali tidak pernah dilakukan anak-anaknya. Di antara mereka, si bungsu yang masih duduk di bangku SMP inilah yang paling saleh. Walau dianggap paling saleh, paling baik dan paling penurut, ia sering menjadi sasaran kemarahan ayahnya. Namun, anak ini sangat sabar menghadapi perilaku buruk ayahnya. Suatu saat Allah menakdirkan ayahnya menderita sakit parah. Setiap ia hanya bisa terbaring lemah di tempat tidur. Semua kebutuhannya dilayani orang lain. Ternyata si bungsu inilah yang paling telaten mengurus sejak awal ia jatuh sakit.

Melihat kesabaran anaknya tersebut, ia bertanya, "Mengapa engkau masih mau merawat diriku?" Mendengar pertanyaan tersebut, si bungsu menjawab dengan sopan, "Inilah yang diajarkan oleh Islam, yaitu memuliakan orangtua." Dialog antara ayah dan anak ini terus berlanjut, hingga akhirnya sang ayah tersadar akan sikap buruknya selama ini. Namun, anak itu merasa dirinya belum pantas disebut anak saleh. Dirinya merasa baru belajar berbakti kepada orangtua.

Mendengar semua itu, berlinanglah air mata sang ayah. Pelukan erat seolah tidak mau ia lepaskan dari anaknya. Tidak lagi tampak raut muka sinis dan kejam dari wajahnya. Saat itu pula pintu hatinya terbuka. Allah berkenan memberikan hidayah melalui anak bungsunya.

Kisah sejati yang pernah terungkap dalam sebuah dialog ini mungkin banyak terjadi di sekitar kita. Semoga kita dapat mengambil hikmah dan terus belajar serta memahami bahwa hidup adalah sebuah proses. Setiap orang berproses. Ada yang awalnya kurang ilmu, namun karena mau belajar, maka lambat laun ilmunya makin bertambah. Ada pula orang yang hatinya diliputi kebencian, seperti kisah di awal, namun lambat laun kebencian tersebut berkurang dan berganti menjadi kasih sayang. Manusia hanya wajib berusaha dan berproses sebaik-baiknya. Namun hidayah dan keputusan sepenuhnya ada dalam genggaman Allah.

Saudaraku, bagaimana pun keadaan orangtua kita, darah dagingnya melekat dalam diri kita. Kalau keduanya belum saleh, maka kita harus berusaha agar orangtua kita dibukakan hatinya. Kalau orangtua masih bergelimang dosa, kita wajib berikhtiar secara optimal untuk membantu serta mendoakan agar Allah menyadarkan dan mengampuni segala dosanya. Kalau orangtua belum taat, kitalah yang harus membuktikan bahwa kita mengenal agama dan menaatinya. Sikapi kekurangan orangtua dengan kelapangan hati. Bagaimana pun tidak ada manusia sempurna. Semoga kisah ini mampu memotivasi kita untuk semakin memuliakan orangtua. Amin.


Posted as my facebook notes on May 4, 2010 at 12:35pm