Pengorbanan Seorang Anak
Bagaimana pun keadaan orangtua kita,
darah dagingnya melekat dalam diri kita. Kalau keduanya masih
bergelimang dosa, kita wajib berikhtiar secara optimal untuk membantu
serta mendoakan agar Allah menyadarkan dan mengampuni segala dosanya.
Mahasuci
Allah Dzat yang tak pernah bosan mengurus semua hamba-Nya. Yang telah
menjadikan amalan memuliakan orangtua (birul walidain) sebagai amalan
yang amat dicintai-Nya. Demi Allah, siapa pun yang selalu berusaha untuk
memuliakan kedua orangtuanya, niscaya Allah akan mengangkat derajatnya
ke tempat paling tinggi di dunia maupun di akhirat.
Difirmankan,
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orangtua
ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu
(QS Lukman [31]: 14).
Alangkah tepat andai firman Allah tersebut
kita baca berulang-ulang dan kita renungkan dalam-dalam. Sehingga Allah
berkenan mengaruniakan cahaya hidayah kepada kita, mengaruniakan
kesanggupan untuk mengoreksi diri, "Seberapa jauh kita telah memuliakan
ibu bapak?".
"Like Father like son". Istilah tersebut tidak
berlaku bagi keluarga yang satu ini. Kebiasaan sang ayah yang suka
berjudi, mabuk dan berperilaku buruk, sama sekali tidak pernah dilakukan
anak-anaknya. Di antara mereka, si bungsu yang masih duduk di bangku
SMP inilah yang paling saleh. Walau dianggap paling saleh, paling baik
dan paling penurut, ia sering menjadi sasaran kemarahan ayahnya. Namun,
anak ini sangat sabar menghadapi perilaku buruk ayahnya. Suatu saat
Allah menakdirkan ayahnya menderita sakit parah. Setiap ia hanya bisa
terbaring lemah di tempat tidur. Semua kebutuhannya dilayani orang lain.
Ternyata si bungsu inilah yang paling telaten mengurus sejak awal ia
jatuh sakit.
Melihat kesabaran anaknya tersebut, ia bertanya,
"Mengapa engkau masih mau merawat diriku?" Mendengar pertanyaan
tersebut, si bungsu menjawab dengan sopan, "Inilah yang diajarkan oleh
Islam, yaitu memuliakan orangtua." Dialog antara ayah dan anak ini terus
berlanjut, hingga akhirnya sang ayah tersadar akan sikap buruknya
selama ini. Namun, anak itu merasa dirinya belum pantas disebut anak
saleh. Dirinya merasa baru belajar berbakti kepada orangtua.
Mendengar
semua itu, berlinanglah air mata sang ayah. Pelukan erat seolah tidak
mau ia lepaskan dari anaknya. Tidak lagi tampak raut muka sinis dan
kejam dari wajahnya. Saat itu pula pintu hatinya terbuka. Allah berkenan
memberikan hidayah melalui anak bungsunya.
Kisah sejati yang
pernah terungkap dalam sebuah dialog ini mungkin banyak terjadi di
sekitar kita. Semoga kita dapat mengambil hikmah dan terus belajar serta
memahami bahwa hidup adalah sebuah proses. Setiap orang berproses. Ada
yang awalnya kurang ilmu, namun karena mau belajar, maka lambat laun
ilmunya makin bertambah. Ada pula orang yang hatinya diliputi kebencian,
seperti kisah di awal, namun lambat laun kebencian tersebut berkurang
dan berganti menjadi kasih sayang. Manusia hanya wajib berusaha dan
berproses sebaik-baiknya. Namun hidayah dan keputusan sepenuhnya ada
dalam genggaman Allah.
Saudaraku, bagaimana pun keadaan orangtua
kita, darah dagingnya melekat dalam diri kita. Kalau keduanya belum
saleh, maka kita harus berusaha agar orangtua kita dibukakan hatinya.
Kalau orangtua masih bergelimang dosa, kita wajib berikhtiar secara
optimal untuk membantu serta mendoakan agar Allah menyadarkan dan
mengampuni segala dosanya. Kalau orangtua belum taat, kitalah yang harus
membuktikan bahwa kita mengenal agama dan menaatinya. Sikapi kekurangan
orangtua dengan kelapangan hati. Bagaimana pun tidak ada manusia
sempurna. Semoga kisah ini mampu memotivasi kita untuk semakin
memuliakan orangtua. Amin.
Posted as my facebook notes on May 4, 2010 at 12:35pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar